Minggu, 12 Februari 2012

Penegakan Hukum

Sumber : http://tyudkartun.blogspot.com/


Ditulis oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
(Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Indonesia)

PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Normanorma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah
yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran
untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.


APARATUR PENEGAK HUKUM

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law), dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

Diambil dari : www.jimly.com
Link : http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf

I do not owned this material. All content is copyright of their respective owners

Minggu, 05 Februari 2012

Penegak Hukum yang Sesungguhnya

Sumber : http://www.pdk.or.id
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H., penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Artinya, seluruh orang dapat menegakkan hukum dengan menjalankan suatu aturan hukum. Sementara dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

Kita mengetahui bahwa aparat penegak hukum di Indonesia terdiri dari tiga pilar, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman (Peradilan). Sementara berbagai pihak mengikutsertakan pilar keempat yaitu Pengacara sebagai aparat penegak hukum.

Namun, para aparat penegak hukum yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan upaya penegakan hukum itu justru seringkali terekspos di media sebagai pelaku pelanggaran hukum. Sungguh ironis. Banyak jaksa dari Kejaksaan di seluruh Indonesia yang menjadi tersangka kasus suap demi meloloskan para tersangka koruptor dari jeratan hukum. Banyak polisi yang korupsi waktu dan uang, berperilaku tidak pantas, tajam terhadap kalangan tidak mampu namun menutup mata terhadap pelanggaran hukum oleh kalangan tajir. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ditangkap polisi lalu lintas, cukup memberi goban, maka urusan beres. Hakim pun banyak yang disuap, berperilaku tidak adil dan melanggar kode etik. Pengacara? Tidak usah ditanya.

Dalam kondisi bangsa yang carut-marut demikian, masih ada anggota masyarakat yang begitu idealis membela hak-hak masyarakat lainnya. Bukan hanya LSM yang saya bicarakan di sini, tetapi juga seorang ibu yang membela hak pejalan kaki di ibukota DKI Jakarta ini.



Dalam video tersebut, terlihat seorang ibu yang sedang berjalan di trotoar, namun dari arah sebaliknya banyak sepeda motor yang melenggang di atas trotoar. Padahal, semua orang tahu bahwa trotoar merupakan fasilitas umum untuk pejalan kaki, sementara sepeda motor harusnya berada di jalanan. Fenomena sepeda motor naik ke atas trotoar ini sudah biasa terjadi di Jakarta apabila jalanan macet, namun hal tersebut sesungguhnya merupakan pelanggaran hak. Ibu ini mengajak berdebat satu per satu pengendara motor agar mereka turun dari trotoar dan kembali ke jalanan. Ibu inilah yang saya katakan sebagai "Penegak Hukum yang Sesungguhnya".

Pernahkah anda berjalan kaki di trotoar, kemudian terganggu oleh sepeda motor dan anda harus turun ke jalanan agar sepeda motor tersebut dapat terus melaju? Pernahkah anda diklakson oleh motor di belakang anda, atau diteriaki agar minggir, padahal trotoar tersebut merupakan hak anda? Saya katakan di sini, JANGAN PERNAH BERHENTI MELAWAN. Perjuangkan hak anda.

Sepeda motor harusnya di jalanan, bukan di trotoar. Trotoar adalah hak bagi pejalan kaki.

_______________________________
Daftar Pustaka :

Asshiddiqie, Jimly. Penegakan Hukum.

Sabtu, 04 Februari 2012

Mafia Hukum VS Reformasi Penegak Hukum

Oleh : Arief Raja Jacob Hutahaean

Indonesia, negara yang belum lama memulai masa demokrasi seutuhnya, sekarang masih dihadapkan pada masalah yang cukup pelik dan telah menjadi agenda kerja pemerintah dalam masa pemerintahan belakangan ini, masalah itu tak lain adalah Mafia Hukum. Mafia hukum sebenarnya telah ada sejak zaman orde baru, dimana terjadi jual beli kasus antara pihak yang berkepentingan dan penegak hukum dan biasanya ada kepentingan yang dilatarbelakangi oleh kekuasaan. Pada masa Orde Baru, fenomena Mafia Hukum telah menjadi fenomena yang biasa dijumpai di berbagai lembaga penegak hukum karena, kembali lagi, terdapat pandangan bahwa kekuasaan pada saat itu dapat mengatasi kekuatan hukum.

Pada masa reformasi, mulai ada kecenderungan untuk menciptakan perubahan yang lebih dalam lingkup penegakan hukum. Masyarakat hukum Indonesia mulai mendapat kesempatan untuk mereformasi sistem penegakan hukum di Indonesia. Gerakan reformasi ini, tak hanya datang dari kaum aktivis, tetapi juga pemerintah dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK diharapkan menjadi lembaga yang akan membawa pembaruan dalam penegakan hukum. Namun persoalan Mafia Hukum tidak selesai begitu saja karena perlu diketahui juga bahwa persoalan Mafia Hukum merupakan persoalan yang sistemik. Artinya dalam menjalankan praktek Mafia Hukum tersebut, telah ada suatu langkah yang teratur sebagai sistem.

Sumber : http://dpd.go.id

Dan eksistensi sistem itu tidak hanya ditentukan oleh adanya tindakan yang sistematis, namun juga adanya manusia yang berpikir sistematik pula untuk tetap menjalankan bisnis Mafia Hukum tersebut. Tentu sudah ada upaya untuk memberantas Mafia Hukum, namun ada saatnya upaya itu dihadapkan pada kondisi bahwa ketika ada upaya, maka hasil yang kemungkinan muncul dapat berupa terciptanya penegakan hukum yang reformis atau sebaliknya, terciptanya praktek Mafia Hukum yang semakin terselubung. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan integritas penegak hukum. Upaya reformasi tanpa mempertahankan integritas penegak hukum akan melahirkan Mafia yang akan semakin cerdik dalam mencari celah dalam penegakan hukum, sebaliknya, upaya reformasi yang didukung oleh pertahanan  integritas untuk menegakkan hukum akan menghasilkan kondisi penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Tampaknya memang langkah tersebut sederhana, namun faktanya, terwujudnya kondisi yang diharapkan akan memerlukan waktu yang lama. Karena proses penegakan hukum tak hanya milik satu lembaga, namun sistem kelembagaan. Untuk itu diperlukan pula suatu sistem yang bisa mengimbangi bahkan mengalahkan sistem Mafia Hukum. Sistem tersebut dapat berupa pembentukan lembaga baru yang dapat memberantas praktek Mafia Hukum, seperti KPK, tetapi harus ditinjau juga integritas penegak hukumnya. Reformasi mentalitas penegak hukum menjadi hal yang esensial. Penegak hukum harus punya paradigma bahwa mereka merupakan salah satu kunci terciptanya keadilan dalam masyarakat dan yang diperjuangkan bukanlah kepentingan individu, tetapi kepentingan masyarakat, sehingga pola pikir ada minimal berupa penegakan hukum yang “fair”.

Kesimpulannya, praktek Mafia Hukum memang telah ada cukup lama. Sekarang, pemberantasan praktek tersebut menjadi agenda kerja yang harus dilakukan. Yang menjadi penentu adalah, apakah reformasi penegakan hukum ini dapat menyentuh mentalitas penegak hukum.

Kamis, 02 Februari 2012

Penelitian MaPPI FHUI - LK2 FHUI tentang Kode Etik Hakim

Mayoritas Hakim Melanggar

Ada 29 Kasus Tidur Saat Sidang

Jum'at, 16 Desember 2011

Jakarta, Kompas – Banyak hakim pengadilan tingkat pertama yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim serta hukum acara. Pelanggarannya beragam, dari tertidur selama persidangan hingga putusan yang dibuatkan oleh jaksa penuntut umum.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com
Hal tersebut terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang disampaikan ke Komisi Yudisial, Kamis (15/12). Hasil penelitian itu diterima komisioner KY Abbas Said.

Penelitian dilakukan terhadap 309 persidangan yang diambil secara acak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Barat, PN Jakarta Timur, PN Jakarta Utara, dan PN Depok. Dari jumlah itu, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan LK2 UI menemukan ada 307 pelanggaran hukum acara dan kode etik oleh hakim. Pemantauan dilakukan pada pertengahan September-24 November 2011.

Fajar Reihan dari LK2 UI mengungkapkan, terdapat pelanggaran serius yang dapat mengakibatkan batalnya putusan, yakni hakim tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum dan dibuka untuk umum. Hal itu melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 53 Ayat (3) dan Pasal 195 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

”Kami menemukan 72 kasus atau 23,3 persen. Paling banyak di PN Jakarta Utara. Ini kesalahan fatal, bisa berdampak pada batalnya putusan,” ujar Fajar.

Hal yang mengherankan, jumlah kasus hakim tertidur saat persidangan cukup banyak. Pemantau menemukan 29 kasus. Kasus lain, hakim terlambat, hakim tidak menegur pengunjung sidang yang berisik, saksi tidak diperiksa satu per satu, hakim memberikan pertanyaan yang menyudutkan, dan majelis hakim kurang dari tiga orang.

Kasus lain, hakim membiarkan terdakwa tidak didampingi penasihat hukum walaupun diancam hukuman pidana lebih dari lima tahun, putusan dibacakan tanpa irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME”, anggota majelis hakim keluar ruangan selama persidangan, pergantian hakim di tengah-tengah persidangan, hakim tidak menanyakan apakah saksi memiliki hubungan keluarga dengan terdakwa, sikap memihak, dan hakim melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan sidang.

”Di PN Jakarta Utara, ada satu sidang yang hakim salah membacakan putusan. Saat itu, hakim sudah membacakan putusan, lalu panitera menegur hakim. Putusan diganti, dibacakan lagi. Meski salah, terdakwa tidak komplain,” ujar Fajar.

Abbas Said mengatakan, KY akan menindaklanjuti laporan tersebut dan akan mengecek ulang kepada yang bersangkutan. (ana)

Sumber :  Harian Kompas, Jum'at 16 Desember 2011