Selasa, 01 Mei 2012

KEMENANGAN BURUH OUTSOURCING (?) DI RUANG SIDANG MAHKAMAH KONSTITUSI


Oleh    : Archie Michael Hasudungan

Pendahuluan
Pada tanggal 5 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 memutus bahwa praktik outsourcing yang berlandaskan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan tidak mensyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/ buruh yang objek kerjanya tetap ada adalah inkonstitusional. Putusan ini berdampak besar terhadap nasib seluruh pekerja/ buruh outsourcing di Indonesia, sebab kini hak-hak mereka sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tidak lagi terabaikan.
            Sebelum meninjau lebih jauh mengenai dampak putusan tersebut terhadap nasib pekerja/ buruh outsourcing di Indonesia, terlebih dahulu kita perlu melihat praktik outsourcing di Indonesia selama ini, aturan-aturan hukum perburuhan dan juga Putusan MK mengenai outsourcing.

Praktik Outsourcing di Indonesia dan Aturan Hukum Perburuhan
Praktik outsourcing di Indonesia telah terjadi sejak lama dan merupakan hal yang lazim dilakukan dalam rangka efisiensi usaha suatu perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, baik melalui perjanjian pemborongan kerja maupun melalui perjanjian pemberian jasa/ pekerjaan tertentu yang tidak mengenai core business dari perusahaan penyedia kerja. Contohnya banyak sekali, seperti tenaga keamanan di suatu gedung perkantoran, cleaning service di suatu kantor, atau costumer service di bank.
            Menurut Budi Rahardjo, outsourcing itu merupakan kebijakan usaha yang wajar dilakukan. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan.
            Outsourcing sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) tepatnya dalam Bab IX tentang Hubungan Kerja. Ketentuan mengenai outsourcing dimuat dalam Pasal 64 UU 13/2003 yang berbunyi, “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis.” Artinya, outsourcing dapat dilakukan dengan dasar suatu perjanjian untuk melakukan pekerjaan, antara dua pilihan yaitu Perjanjian Pemborongan Kerja (PPK) atau Perjanjian Pemberian Jasa/ Pekerjaan Tertentu (PPJPT); serta syarat bahwa perjanjian yang dimaksud haruslah dibuat secara tertulis.
Dalam praktik outsourcing, digunakan dua dari tiga jenis perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian Kerja digunakan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh outsourcing, sementara antara pengusaha yang menyediakan pekerja/ buruh outsourcing atau memborong pekerjaan dengan pengusaha yang menyediakan pekerjaan, digunakan PPK atau PPJPT.



 
Putusan MK Mengenai Outsourcing
Bagi beberapa kalangan, sistem outsourcing dianggap tidak adil dan tidak memihak pekerja/ buruh; bahkan ada yang menganggap outsourcing merupakan bentuk modern slavery. Oleh karena itu ketentuan mengenai outsourcing sampai dua kali diajukan ke MK. Permohonan pertama telah diputus oleh MK (Putusan Nomor 12/PUU-I/2003) dan dinyatakan bahwa dalil pemohon tidak cukup berasalan. Tetapi dalam permohonan kedua (Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011), permohonan pemohon dikabulkan sebagian.
Pasal-pasal yang dimohonkan uji materiil ke MK adalah Pasal 59, 64, 65 dan 66 UU 13/2003. Pokok permohonan yang didalilkan pemohon adalah bahwa pekerja/ buruh outsourcing yang berlandaskan pada PKWT pada kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja/ buruh Indonesia dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini disebabkan karena dasar hubungan kerjanya yaitu PKWT, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003, dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66 UU 13/2003, menunjukkan pekerja/ buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata, yang mudah untuk dipekerjakan dan mudah pula untuk diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan kata lain, menurut pemohon, pekerja/ buruh hanya sebagai sapi perahan para pemilik modal saja.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa posisi pekerja/ buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerjanya dilakukan berdasarkan PKWT. Sebab, apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/ buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/ buruh tidak lagi mendapatkan pekerjaan selanjutnya sebab tidak ada lagi perpanjangan kontrak. Selain itu, pekerja/ buruh juga akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing. Ujung dari permasalahan ini adalah hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.
Dapat dikatakan bahwa ketidakpastian nasib pekerja/ buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut terjadi karena UU 13/2003 tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/ buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja, dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Padahal, kedua hal tersebut merupakan hak pekerja yang dimuat dalam konstitusi Republik Indonesia, tepatnya dalam Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari keadaan tersebut, untuk menghindari terjadinya eksploitasi perusahaan terhadap pekerja/ buruh yang hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis semata, serta untuk menjamin hak konstitusional para pekerja/ buruh outsourcing, maka MK menentukan dua opsi perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/ buruh outsourcing. Kedua opsi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk PKWTT; atau
2.      Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/ buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Prinsip tersebut dikenal dengan sebutan TUPE atau Transfer of Undertaking Protection of Employment.

Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing yang lama dan menggantinya dengan perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya tanpa perubahan apapun, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/ buruh. Dengan demikian, aturan ini memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing serta memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja/ buruh outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja/ buruh outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.
Sayangnya, putusan MK ini masih jauh dari yang diharapkan para tokoh pembela hak-hak kaum buruh, yang menginginkan penghapusan outsourcing dan pembukaan lapangan kerja yang layak dan menjanjikan bagi setiap tenaga kerja di Indonesia. Sebab, meskipun MK telah memberikan solusi bagi penerapan outsourcing yang lebih adil dan konstitusional, namun putusan tersebut tidak sesuai dugaan awal mereka, yang menduga MK akan menghapus outsourcing sepenuhnya karena rentan dengan pengebirian hak-hak para pekerja outsourcing.

Konklusi
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa frasa PKWT dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003 inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang dalam perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/ buruh yang obyek kerjanya tetap ada. Artinya, kini dalam praktik outsourcing di Indonesia, pengusaha harus memilih satu dari dua opsi yang ditawarkan MK, yakni menggunakan PKWTT, atau menggunakan PKWT dengan syarat harus ada jaminan kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/ buruh outsourcing.
            Putusan ini cukup membawa dampak bagi perbaikan nasib para pekerja/ buruh outsourcing di Indonesia, sebab kini pekerja/ buruh outsourcing mendapat jaminan akan kelangsungan pekerjaannya, serta masa kerja dan pengabdiannya bagi pekerjaannya dihargai dan diperhitungkan dalam menentukan besaran jaminan sosial dan tunjangan-tunjangan lainnya. Meskipun jalan menuju penghapusan outsourcing dan pembukaan lapangan kerja yang menjanjikan bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia masih sangat jauh, namun sudah dapat dikatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan kemenangan buruh outsourcing dan merupakan satu lagi langkah konkrit menuju perbaikan nasib buruh di Indonesia.