Oleh : Archie Michael Hasudungan
Pendahuluan
Pada tanggal 5
Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011
memutus bahwa praktik outsourcing
yang berlandaskan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan tidak mensyaratkan
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/ buruh yang objek kerjanya
tetap ada adalah inkonstitusional. Putusan ini berdampak besar terhadap nasib
seluruh pekerja/ buruh outsourcing di
Indonesia, sebab kini hak-hak mereka sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tidak lagi
terabaikan.
Sebelum meninjau lebih jauh mengenai
dampak putusan tersebut terhadap nasib pekerja/ buruh outsourcing di Indonesia, terlebih dahulu kita perlu melihat
praktik outsourcing di Indonesia
selama ini, aturan-aturan hukum perburuhan dan juga Putusan MK mengenai outsourcing.
Praktik Outsourcing
di Indonesia dan Aturan Hukum Perburuhan
Praktik outsourcing di Indonesia telah terjadi
sejak lama dan merupakan hal yang lazim dilakukan dalam rangka efisiensi usaha
suatu perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain, baik melalui perjanjian pemborongan kerja maupun melalui
perjanjian pemberian jasa/ pekerjaan tertentu yang tidak mengenai core business dari perusahaan penyedia
kerja. Contohnya banyak sekali, seperti tenaga keamanan di suatu gedung
perkantoran, cleaning service di
suatu kantor, atau costumer service
di bank.
Menurut
Budi Rahardjo, outsourcing itu
merupakan kebijakan usaha yang wajar dilakukan. Berbagai manfaat dapat dipetik
dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving),
perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business),
dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh
perusahaan.
Outsourcing
sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU 13/2003) tepatnya dalam Bab IX tentang Hubungan Kerja. Ketentuan mengenai outsourcing dimuat dalam Pasal 64 UU
13/2003 yang berbunyi, “Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/ buruh yang
dibuat secara tertulis.” Artinya, outsourcing
dapat dilakukan dengan dasar suatu perjanjian untuk melakukan pekerjaan, antara
dua pilihan yaitu Perjanjian Pemborongan Kerja (PPK) atau Perjanjian Pemberian
Jasa/ Pekerjaan Tertentu (PPJPT); serta syarat bahwa perjanjian yang dimaksud
haruslah dibuat secara tertulis.
Dalam
praktik outsourcing, digunakan dua
dari tiga jenis perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian Kerja
digunakan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh outsourcing, sementara antara pengusaha yang menyediakan pekerja/
buruh outsourcing atau memborong
pekerjaan dengan pengusaha yang menyediakan pekerjaan, digunakan PPK atau
PPJPT.
Putusan
MK Mengenai Outsourcing
Bagi beberapa
kalangan, sistem outsourcing dianggap
tidak adil dan tidak memihak pekerja/ buruh; bahkan ada yang menganggap outsourcing merupakan bentuk modern slavery. Oleh karena itu
ketentuan mengenai outsourcing sampai
dua kali diajukan ke MK. Permohonan pertama telah diputus oleh MK (Putusan
Nomor 12/PUU-I/2003) dan dinyatakan bahwa dalil pemohon tidak cukup berasalan.
Tetapi dalam permohonan kedua (Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011), permohonan
pemohon dikabulkan sebagian.
Pasal-pasal
yang dimohonkan uji materiil ke MK adalah Pasal 59, 64, 65 dan 66 UU 13/2003.
Pokok permohonan yang didalilkan pemohon adalah bahwa pekerja/ buruh outsourcing yang berlandaskan pada PKWT
pada kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
jaminan-jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan pekerja/ buruh Indonesia dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945. Hal ini disebabkan karena dasar hubungan kerjanya yaitu PKWT, sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003, dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66 UU 13/2003, menunjukkan
pekerja/ buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata, yang mudah untuk
dipekerjakan dan mudah pula untuk diputus hubungan kerjanya ketika tidak
dibutuhkan lagi. Dengan kata lain, menurut pemohon, pekerja/ buruh hanya
sebagai sapi perahan para pemilik modal saja.
Dalam
pertimbangannya, MK berpendapat bahwa posisi pekerja/ buruh outsourcing dalam hubungannya dengan
perusahaan outsourcing menghadapi
ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerjanya dilakukan berdasarkan
PKWT. Sebab, apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja
dengan perusahaan outsourcing habis
karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/ buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/ buruh
tidak lagi mendapatkan pekerjaan selanjutnya sebab tidak ada lagi perpanjangan
kontrak. Selain itu, pekerja/ buruh juga akan mengalami ketidakpastian masa
kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat
sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing.
Ujung dari permasalahan ini adalah hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan
dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.
Dapat
dikatakan bahwa ketidakpastian nasib pekerja/ buruh sehubungan dengan pekerjaan
outsourcing tersebut terjadi karena
UU 13/2003 tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/ buruh outsourcing untuk bekerja dan
mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja, dan tidak
adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Padahal, kedua hal tersebut merupakan hak pekerja
yang dimuat dalam konstitusi Republik Indonesia, tepatnya dalam Pasal 28D ayat
(2) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai
tindak lanjut dari keadaan tersebut, untuk menghindari terjadinya eksploitasi
perusahaan terhadap pekerja/ buruh yang hanya untuk kepentingan keuntungan
bisnis semata, serta untuk menjamin hak konstitusional para pekerja/ buruh outsourcing, maka MK menentukan dua opsi
perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/ buruh outsourcing. Kedua opsi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Mensyaratkan
agar perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk
PKWT, melainkan berbentuk PKWTT; atau
2.
Menerapkan
prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/ buruh yang bekerja pada
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Prinsip tersebut dikenal dengan sebutan TUPE atau Transfer of Undertaking Protection of Employment.
Dengan
menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja
tidak lagi memberikan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing yang lama dan menggantinya dengan perusahaan outsourcing yang baru, maka selama
pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut,
perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang
telah ada sebelumnya tanpa perubahan apapun, kecuali perubahan untuk
meningkatkan keuntungan bagi pekerja/ buruh. Dengan demikian, aturan ini
memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing serta memberikan
perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya. Masa kerja yang telah
dilalui para pekerja/ buruh outsourcing
tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja/ buruh outsourcing dapat menikmati hak-hak
sebagai pekerja secara layak dan proporsional.
Sayangnya,
putusan MK ini masih jauh dari yang diharapkan para tokoh pembela hak-hak kaum
buruh, yang menginginkan penghapusan outsourcing
dan pembukaan lapangan kerja yang layak dan menjanjikan bagi setiap tenaga
kerja di Indonesia. Sebab, meskipun MK telah memberikan solusi bagi penerapan outsourcing yang lebih adil dan
konstitusional, namun putusan tersebut tidak sesuai dugaan awal mereka, yang
menduga MK akan menghapus outsourcing
sepenuhnya karena rentan dengan pengebirian hak-hak para pekerja outsourcing.
Konklusi
Dalam amar putusannya,
MK menyatakan bahwa frasa PKWT dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)
huruf b UU 13/2003 inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat,
sepanjang dalam perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/ buruh yang obyek kerjanya tetap ada.
Artinya, kini dalam praktik outsourcing
di Indonesia, pengusaha harus memilih satu dari dua opsi yang ditawarkan MK,
yakni menggunakan PKWTT, atau menggunakan PKWT dengan syarat harus ada jaminan
kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/ buruh outsourcing.
Putusan ini cukup membawa dampak bagi
perbaikan nasib para pekerja/ buruh outsourcing
di Indonesia, sebab kini pekerja/ buruh outsourcing
mendapat jaminan akan kelangsungan pekerjaannya, serta masa kerja dan pengabdiannya
bagi pekerjaannya dihargai dan diperhitungkan dalam menentukan besaran jaminan
sosial dan tunjangan-tunjangan lainnya. Meskipun jalan menuju penghapusan outsourcing dan pembukaan lapangan kerja
yang menjanjikan bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia masih sangat jauh,
namun sudah dapat dikatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan kemenangan
buruh outsourcing dan merupakan satu
lagi langkah konkrit menuju perbaikan nasib buruh di Indonesia.